HFANEWS.COM – Karena merugikan kepentingan nasional, merugikan puluhan juta buruh, dan hanya menguntungkan kepentingan beberapa pihak membuat Tokoh nasional yang juga ekonom senior, Rizal Ramli berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan Omnibus Law.
Hal itu dikatakan Rizal Ramli saat sidang Judicial Review tentang Omnibus Law di MK, Kamis (27/7/2023).
Dalam pengajuan UU Omnibus Law, Rizal Ramli mengungkapkan, pemerintah menggunakan dua alasan, yakni pertama, ekonomi nasional dalam kondisi sangat genting karena pandemi Covid dan dampak krisis global.
“Alasan ini menurut saya terlalu mengada-ada, karena faktanya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020-2023 tercatat sekitar 5 persen. Jelas, ekonomi tumbuh 4,5 hingga 5 persen itu tidak genting. Dan masih bisa diatasi dengan cara-cara inovatif,” katanya.
Ia menekankan bahwa ekonomi dikatakan genting jika pertumbuhan ekonomi berada pada angka negatif. Seperti tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia yang biasa berada pada kisaran 6 persen, anjlok ke minus 12,5 persen, yang membutuhkan tindakan besar dan signifikan.
“Itu tidak bisa digunakan sebagai alasan dalam memilukan Omnibus Law. Itu terlalu mengada-ada dan membodohi masyarakat Indonesia,” tegasnya.
RR sapaan akrabnya bahkan langsung memaparkan cara yang dilakukannya, selaku Menko Ekonomi, saat membenahi perekonomian Indonesia pada tahun 2000 melalui cara-cara inovatif, hingga ekonomi Indonesia yang mencatat minus 3 berhasil naik hingga positif 4,5 persen lalu naik lagi ke 7 persen dalam waktu 21 bulan.
“Itu tanpa Omnibus Law. Tapi cara-cara inovatif. Misalnya dengan menaikkan gaji pegawai negeri hingga 125 persen. Banyak cara inovatif, out of the box, dalam mengatasi masalah ekonomi yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kesenjangan, yang waktu itu angka gini ratio adalah yang terendah dalam sejarah Indonesia,” paparnya.
Rizal menyatakan jika memang pemerintah ingin membantu usaha kecil hingga menengah, harusnya hanya 50 halaman saja, sehingga tidak ada keraguan dan kepentingan abu-abu dari UU tersebut.
“Alasan ini masuk akal. Karena birokrasi kita memang ruwet, mempersulit, terlalu banyak tumpang tindih aturan dan perizinan. Tapi, yang dihasilkan UU Omnibus Law adalah masalah yang semakin ruwet,” kata RR lebih lanjut.
Ia mengemukakan, UU Omnibus Law tertuang dalam 1.000 halaman dengan tambahan penjelasan 500 halaman.
“Masak bisa disederhanakan dengan Undang-undang yang sebanyak itu. Antara pasal banyak konflik, banyak perbedaan, sehingga untuk memahaminya perusahaan besar saja harus menyewa lawyer yang mahal. Apalagi, usaha kecil dan menengah. Bagaimana mereka bisa memahami UU itu,” paparnya.(HFAN/AR)