BUMNPOST.COM – Sejumlah ekonom menilai kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah tepat. Namun, berbagai faktor membuat Dolar sedang sangat perkasa hingga menyebabkan Rupiah mengalami tekanan hingga menyentuh level Rp 16.300.
“Saya menilai kebijakan BI bertujuan untuk smoothing the volatility, karena apa yang dilakukan BI tidak seperti menggarami air laut,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dikutip Rabu, (12/6/2024).
Josua mengatakan kebijakan BI yang telah menaikkan BI Rate ke level 6,25% tentu tidak akan langsung berdampak dengan turunnya kurs dolar ke level di bawah Rp 16.000. Dia mengatakan faktor eksternal seperti sentimen suku bunga The Fed dan rilis data inflasi Amerika Serikat yang dilakukan pekan ini telah berkontribusi terhadap tekanan ke Rupiah.
Baca Juga : PDIP DKI Harap Wacana Duet Anies-Kaesang di Pilkada Jakarta Tak Terjadi
Dia mengatakan ketidakpastian global di Timur Tengah dan gejolak politik di Prancis juga telah membuat Dolar semakin perkasa. “Jadi bukan Rupiah sendirian yang melemah terhadap Dolar AS, tapi yang terjadi adalah penguatan terhadap seluruh mata uang dunia,” katanya.”Sejauh ini triple intervention yang dilakukan BI saya pikir sudah optimal, karena kalau kita bicara volatilitasnya tidak terlalu besar berdampak pada depresiasi Rupiah… bahkan depresiasinya lebih rendah dari Baht Thailand, Peso Filipina dan Dolar Taiwan,” katanya.
Triple intervention adalah intervensi yang dilakukan BI pada Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Senior Executive Vice President Treasury & International BCA, Branko Windoe menilai langkah BI dalam melakukan triple intervention juga sudah tepat. Namun, kata dia, menjaga nilai tukar memang tidak bisa hanya mengandalkan langkah moneter.”Padahal yang menggerakan nilai tukar mata uang bukan hanya moneter,” kata dia.
Branko beranggapan pemerintah harus mulai memikirkan cara melakukan substitusi impor. Dia menilai industri di Indonesia masih terlalu bergantung pada impor, sehingga ketika terjadi perubahan nilai tukar akan langsung terasa dampaknya.
“Ini yang dari tahun ke tahun akan terus menjadi kendala, tekanan terhadap Rupiah akan terus kuat selama kita belum punya substitusi impor,” kata dia.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai kenaikan BI Rate awalnya memang cukup dapat mengembalikan aliran modal ke dalam negeri dan menahan modal keluar. Dia mengatakan Rupiah bahkan sempat menguat mendekati Rp 16.000 karena kebijakan ini.
“Namun trend pelemahan kembali terjadi seiring masih terjadinya flight to quality dan kuatnya Treasury Bond dan Treasury Bill Amerika Serikat sebagai safe heaven dan kuatnya para kompetitor kita seperti India, Amerika Latin, China dalam menarik inflow,” kata dia (bp/dvd)