HFANEWS.COM – Kesepakatan bisnis dari Tiongkok di Hong Kong telah berkurang selama beberapa dekade terakhir. Bank dan firma hukum sama-sama mengurangi lapangan kerja. Mereka yang tersisa mengejar kesepakatan yang lebih kecil dan mengambil liburan yang lebih panjang.
“Era keemasan para bankir dan penasihat investasi yang sukses sudah hampir berlalu,” kata Veronique Lafon-Vinais, seorang bankir investasi selama lebih dari dua dekade yang kini mengajar keuangan di Sekolah Bisnis Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip dari The Business Times, Senin (27/11/2023).
Nilai merger dan akuisisi di daratan Tiongkok dan Hong Kong pun telah turun 6% menjadi sekitar US$185 miliar (Rp2.874,04 triliun) Jumlah tersebut kemungkinan merupakan jumlah terendah dalam satu tahun sejak tahun 2013 dan tidak lebih dari setengah rata-rata tahunan sejak saat itu.
Baca Juga : Transformasi Industri Kelapa Sawit: Mengatasi Kendala Produksi Tanpa Perluasan Lahan
Bahkan, penurunan penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) lebih ekstrem. Tahun ini diperkirakan menjadi tahun terburuk bagi debut Hong Kong sejak tahun 2001, dengan IPO senilai US$4,6 miliar (Rp71,46 triliun).
Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari dana yang dikumpulkan tiga tahun lalu sebesar US$52 miliar (Rp807,84 triliun), dan turun 85% dari rata-rata 10 tahun terakhir sebesar US$31 miliar (Rp481,59 triliun).
Banyak penasihat yang tidak ingin disebutkan namanya menyatakan bahwa keadaan tahun depan akan tetap penuh tantangan. Beberapa dari mereka bahkan menyebutkan aktivitas ekonomi tidak akan meningkat hingga setidaknya tahun 2025.
Dampak yang mereka sebutkan sangat banyak, termasuk meningkatnya biaya pendanaan luar negeri; pasar yang bergejolak; hubungan yang tegang antara Beijing dan Washington; serta tindakan keras yang dilakukan Presiden Xi Jinping terhadap industri seperti properti, teknologi, dan keuangan.
Menurunnya valuasi pasar saham Hong Kong dan kontrol peraturan yang lebih ketat juga menghalangi perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk mencatatkan sahamnya.
Kabarnya Alibaba Group Holding mengejutkan investor dengan menghentikan rencana spin-off dan IPO bisnis cloud senilai US$11 miliar (Rp170,93 triliun).
Perusahaan menyebut pembatasan AS pada penjualan chip ke Tiongkok sebagai alasan pembalikan kebijakan tersebut. Grup milik konglomerat Jack Ma itu mengatakan juga akan menangguhkan listing untuk bisnis grosir populer Freshippo.
Akibat dari penurunan pada investasi, para pelaku industri jadi lebih berhemat. Perjalanan kelas bisnis dan pengeluaran yang besar telah dikurangi, dan panggilan Zoom semakin menggantikan pertemuan tatap muka. Mereka juga terpaksa melakukan kesepakatan di negara-negara dan sektor-sektor yang tidak mereka kenal. (hfan/dvd)