BUMNPOST.COM – Industri batu bara nasional tengah menghadapi tantangan serius akibat melemahnya ekspor ke dua negara tujuan utama, yakni China dan India. Tren penurunan ini sudah berlangsung sejak awal 2025 dan memberi dampak nyata terhadap kinerja penjualan para pelaku usaha di sektor tambang.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, menjelaskan bahwa ketergantungan pada kontrak jangka panjang menyulitkan perusahaan untuk beradaptasi dengan cepat dalam mencari pasar baru. “Pencarian buyer baru bukan hal yang mudah. Sebagian besar perusahaan masih bergantung pada kontrak yang sudah berjalan,” ungkap Gita kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/6/2025).
Menurut data APBI, ekspor batu bara ke China mengalami penurunan sebesar 15% hingga Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, ekspor ke India juga tercatat turun sekitar 7% secara tahunan. Penurunan tersebut banyak dipengaruhi oleh peningkatan kapasitas produksi domestik di kedua negara.
BACA JUGA : Dedi Mulyadi Janji Bersihkan Bantaran Sungai dan Pantai Jabar dari Bangunan Liar dalam Dua Tahun
“China dan India sedang gencar meningkatkan produksi batubaranya sendiri. Ini otomatis mengurangi ketergantungan mereka pada pasokan dari Indonesia,” kata Gita.
Selain faktor produksi lokal, persaingan global juga ikut menekan posisi Indonesia di pasar. Negara-negara seperti Rusia, Mongolia, dan Australia kini menjadi pesaing kuat dengan harga yang lebih kompetitif.
Menariknya, meskipun tingkat konsumsi batu bara di China masih tinggi, kebutuhan impor dari Indonesia tetap melemah karena stok batu bara domestik yang masih mencukupi. “Biasanya pasca-Imlek stok mereka menipis, tapi tahun ini tetap tinggi. Jadi permintaan dari Indonesia belum terlalu mendesak,” jelas Gita.
Di tengah penurunan permintaan ini, perusahaan tambang diminta memperkuat efisiensi operasional untuk menghadapi tekanan biaya. Gita menyoroti tingginya harga bahan bakar dan logistik sebagai dua faktor yang bisa memperburuk kondisi industri jika tidak ditangani secara strategis.
“Biaya logistik naik, dan harga solar campuran B40 juga diperkirakan akan meningkat. Maka efisiensi dari hulu ke hilir menjadi sangat penting,” tegasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), India menjadi pasar terbesar batu bara RI dengan volume mencapai 108,07 juta ton pada 2024. Namun secara nilai, ekspor ke India justru anjlok 13,93% menjadi US$6,25 miliar. Sementara China, yang mencatatkan peningkatan volume 14,06% menjadi 93,16 juta ton tahun lalu, mengalami penurunan nilai ekspor sebesar 6,04%.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa ketidakpastian global dan dinamika produksi dalam negeri di negara tujuan ekspor harus segera diantisipasi oleh Indonesia dengan strategi diversifikasi pasar serta efisiensi biaya agar industri batu bara tetap berkelanjutan di tengah perubahan peta energi global.