BUMNPOST.COM – Ratusan hingga ribuan keluarga kini berada dalam bayang-bayang ketidakpastian, setelah Procter & Gamble (P&G), raksasa industri barang konsumen asal Amerika Serikat, mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 7.000 karyawan. Jumlah ini setara dengan 15% dari total tenaga kerja non-manufaktur perusahaan tersebut.
Langkah berat ini diambil sebagai bagian dari strategi efisiensi perusahaan dalam menghadapi tekanan ekonomi dan meningkatnya biaya operasional yang dipicu oleh kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat. Dalam keterangannya, Chief Financial Officer P&G, Andre Schulten, menyebut bahwa restrukturisasi ini adalah “keputusan penting untuk kelangsungan jangka menengah perusahaan,” meskipun diakuinya, hal ini tidak akan menghapus tantangan besar yang tengah dihadapi saat ini.
Dampak Langsung pada Keluarga dan Pekerja
Di balik angka dan laporan keuangan, terdapat manusia-manusia yang selama ini menjadi bagian penting dari perjalanan P&G. Para karyawan yang terdampak—banyak di antaranya telah mendedikasikan puluhan tahun hidupnya di perusahaan—kini harus menghadapi realitas pahit mencari pekerjaan baru di tengah ketidakpastian ekonomi global.
“Saya tidak menyangka akan kehilangan pekerjaan di usia 50-an. Saya sudah di sini hampir 20 tahun,” ungkap salah satu karyawan yang tidak ingin disebutkan namanya. “P&G bukan sekadar tempat kerja. Bagi banyak dari kami, ini adalah rumah kedua.”
Tekanan Ekonomi Akibat Tarif dan Perlambatan Penjualan
Langkah PHK ini disebut sebagai imbas dari kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan pemerintahan Donald Trump terhadap negara-negara mitra dagang. Kebijakan tersebut meningkatkan biaya produksi dan membuat harga jual produk harus disesuaikan, sehingga berdampak pada daya beli konsumen dan perlambatan pertumbuhan penjualan.
Pada kuartal ketiga tahun fiskal ini, penjualan organik P&G di Amerika Serikat hanya tumbuh 1%, jauh di bawah ekspektasi. Perusahaan juga memperkirakan penurunan laba per saham sebesar 3 hingga 4 sen untuk kuartal berikutnya.
Ke depan, P&G memproyeksikan beban keuangan tambahan akibat tarif mencapai US$ 600 juta sebelum pajak, dan biaya restrukturisasi antara US$ 1 miliar hingga US$ 1,6 miliar.
Baca Juga : Danantara Indonesia Tertarik Investasi di Tengah Isu Merger GoTo-Grab
Gelombang PHK di Industri Besar AS
P&G bukan satu-satunya. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan besar seperti Microsoft dan Starbucks juga telah melakukan PHK massal. Gelombang pemangkasan tenaga kerja ini menandakan bahwa tekanan ekonomi mulai terasa bahkan pada perusahaan-perusahaan raksasa yang sebelumnya dianggap stabil.
Saham Anjlok, Kecemasan Meningkat
Setelah kabar PHK diumumkan pada Kamis (5/6/2025), saham P&G turun lebih dari 1%, menambah tekanan yang telah menurunkan nilai saham perusahaan sebesar 2% sepanjang tahun ini. Meski masih mencatat kapitalisasi pasar sebesar US$ 407 miliar, ketegangan di pasar kerja dan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi Amerika Serikat terus meningkat.
Dalam Gelombang Ketidakpastian, Harapan Masih Ada
Meski badai tengah menerpa, banyak pihak berharap bahwa perusahaan-perusahaan besar seperti P&G akan memberikan dukungan transisi yang memadai bagi para karyawannya yang terdampak—mulai dari pelatihan ulang hingga bantuan penempatan kerja.
“Ini masa sulit, tapi kami berharap bisa bangkit kembali,” ujar salah satu karyawan lainnya dengan suara penuh harapan.
Karena di balik setiap kebijakan dan restrukturisasi, ada wajah-wajah manusia yang berjuang untuk masa depan yang lebih baik.